
relawan pendamping anak - dari masa ke masa
TGL 18 Januari 2009, di desa Kisik,Minggir,Sleman diadakan ritual "Ngombeni Jaran Kepang". Acara tersebut dimulai dengan penampilan awal yang dilakukan oleh kelompok penjathil pertama, dan dilanjutkan arak-arakan menuju sendang untuk memandikan dan memberi minum jaran kepang yang dipakai penari. Setelah ritual tersebut arak-arakan kembali lagi ke arena pertunjukan dengan penampilan seluruh kelompok. Yang menarik perhatian adalah salah satu kelompok yang anggota penarinya sebagian besar adalah anak-anak, seperti tak mau kalah dengan penampilan penjathil dewasa, mereka menyuguhkan penampilan tarian yang lebih sederhana tapi tak kalah memukau. Sejak acara tersebut dimulai tempat pertunjukan sudah dipenuhi masyarakat yang ingin menyaksikan ritual dan penampilan jathilan tersebut.
Ritual tersebut diadakan untuk menghidupkan kembali tradisi kesenian jathilan yang beberapa lama sempat menghilang dan kemudian diangkat kembali oleh komunitas kesenian Eko Budoyo Krido Turonggo. Ngombeni jalan kepang sendiri secara yang harafiah berarti memberi minum kuda kepang, menurut Mbah Sukar, seorang sesepuh desa setempat, titual "Ngombeni Jaran Kepang tersebut mengandung filosofi (makna), menyegarkan dan membangun kembali semangat berkesenian dan menghargai kesenian dan tradisi leluhur.(sumber: rublik jalan-jalan TALI edisi 2)
“Stop Over” adalah Perpustakaan Keliling yang melayani masyarakat secara berkeliling, Stop Over ini merupakan cikal bakal dari
Rabu – Jumat, 7 -9 Januari 2009, PT. Sampoerna Tbk dan Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI), mengadakan studi banding ke beberapa perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat di Yogyakarta. Studi banding ini diikuti oleh 45 orang dari 4 Taman Bacaan Masyarakat dan 5 Stop Over di Surabaya, 4 Taman Bacaan Masyarakat dan 5 Stop Over di Pasuruan, yang merupakan Taman Bacaan Masyarakat yang didanai dan didampingi oleh PT. Sampoerna Tbk dan Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia.
Studi banding yang diikuti oleh relawan dan pengurus Taman Bacaan Masyarakat dalam Program Pustaka Sampoerna dimaksudkan untuk lebih meningkatkan wawasan dan pengetahuan dengan melihat Perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat di Yogyakarta, selain itu untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan kompetisi yang positif untuk menjadi lebih baik.
Kegiatan studi banding ini diisi dengan berbagi pengalaman, diskusi, launching Buletin JENDELA PUSTAKA dan kunjungan ke beberapa Perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat di Yogyakarta.
Salah satu perpustakaan yang menjadi rujukan mereka adalah Perpustakaan Keliling Anak SATUNAMA, Perpustakaan Keliling Galang Press, Perpustakaan IVAA, PKBM “Rumpun” Kampung Badran dari Yayasan Pondok Rakyat, Perpustakaan Kota Yogyakarta, dan Perpustakaan Mitra Tema Bantul yang sebagian besar dari perpustakaan tersebut tergabung dalam Jaringan Perpustakaan Alternatif “BIBLIO”.
Dari hasil diskusi ada beberapa pertanyaan yang menarik dari mereka yang ditujukan untuk perpustakaan kita diantaranya adalah masalah sumber dana, biaya operasional, konsep volunteerism, suka duka mendampingi masyarakat dan kegiatan pendukung di masing masing komunitas yang didampingi SATUNAMA.
Perpustakaan Keliling Anak SATUNAMA juga mensosialisasikan gemar membaca dengan semboyan “MEMBACA ITU MENYENANGKAN” untuk mengubah paradigma yang ada di masyarakat saat ini bahwa “MEMBACA ITU MEMBOSANKAN”.
Selain itu ada pemaparan dari 2 orang narasumber yaitu Ida Fajar ( Kepala Perpustakaan UGM) dan Tri Suhartini (Yayasan Pondok Rakyat). Ida Fajar dalam pemaparannya mengatakan bahwa masyarakat kita ini banyak yang “aliterasi” artinya tidak suka atau tidak mau membaca. Hal ini terjadi karena sejak kecil kita tidak dididik untuk gemar membaca. Suasana berbagi pengalaman dengan Tim MOBLIB. Selain itu perpustakaan yang ada di
Di Singapore, untuk meningkatkan minat baca masyarakat, kebanyakan perpustakaan yang ada dibuka setelah jam kantor. Dampak dari menumbuhkan minat baca tidak bisa dilihat dalam jangka pendek, misalnya anak-anak usia Sekolah Dasar yang sudah dibiasakan gemar membaca mulai sekarang baru akan kelihatan hasilnya mungkin 15 tahun mendatang.
Tri Suhartini dalam pemaparannya mengatakan bahwa di
Perpustakaan Alternatif “BIBLIO” merupakan salah satu wadah untuk berjejaring dari perpustakaan komunitas, perpustakaan LSM, dan perpustakaan pribadi di
Selain itu menumbuhkan semangat berswadaya dan swakelola di masyarakat untuk membangun perpustakaan komunitas masih sangat kurang, karena perpustakaan komunitas yang dibangun kebanyakan perpustakaan komunitas yang dibangun dari dana “proyek”, sehingga kemandirian masyarakat masih sangat minim.
Pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan ini adalah dapat dijadikan tempat untuk mempromosikan program-program SATUNAMA, memperluas jaringan dengan lembaga lain, adanya tukar-menukar informasi dalam mengembangkan perpustakaan komunitas, dan melatih menjadi fasilitator dibidang literasi.
Penulis: Andri
Foto: Metana
Pengantar
Berikut adalah tulisan yang diambil dari salah satu blog yang mendefinisikan tentang difable. Sistem pendidikan inklusif yang diperjuangkan oleh beberapa teman LSM tampaknya belum terlalu mendapatkan respon dari kalangan pembuat kebijakan, akibatnya cita-cita teman-teman difable untuk mengalami pendidikan “normal” tampaknya belum bersambut. Padahal berbaurnya teman difable dengan teman-teman seusianya di sekolah umum dipercaya akan menjadi obat yang mujarab bagi mental mereka. Berikut tulisan dari blog handaru (ed)
Difable atau Different Ability People. Saya mengenal istilah ini ketika membaca artkel yang ditulis oleh almarhum Mansour Faqih di harian Kedaulatan Rakyat. Di Amerika istilah yang digunakan adalah Disabled Persons. Banyak wacana yang antusias menggali istilah apa yang tepat untuk kaum penyandang cacat ini. Kajian tersebut diekplorasi dari sisi makna bahasa bahkan sampai pada proses pembentukan istilah itu sendiri.
Tulisan ini tidak akan menyentuh ribut-ribut soal istilah. Saya akan mengunakan istilah Difable karena istilah ini sedang In saja dan paling populer di antara kita. Jika nanti berkembang istilah lain yang ”pop” lagi saya akan ikut juga istilah tersebut.
Difable adalah fenomena real dan ada dari waktu ke waktu, bisa anak kita,suami kita, istri kita, saudara kita, orangtua kita, tetangga kita atau teman kita. Nyata, ini adalah bagian dari kita. Dikarenakan keterbatasan kemampuan mereka, secara sistem dan hukum alam akhirnya kaum Difable benar –benar tidak mendapat tempat yang sama di urusan publik. Sejarah panjang perjuangan mereka untuk mendapatkan empati sosial ( bukan simpati sosial ) telah tercantum dari berbagai slogan dari kaum Difable yaitu ”jangan kasihani kami tapi beri kami kesempatan” . Slogan tersebut sarat makna apa kemauan dasar mereka terhadap eksistensinya di bumi ini.
Anda pernah melihat kaum Diffable lalu lalang di jalan atau tempat-tempat publik dengan merdeka ? Sangat jarang.! Bisa jadi karena secara statistik jumlahnya memang sedikit. Namun yang jelas dikarenakan fasilitas umum yang kita ciptakan tidak memungkinkan bagi mereka untuk bersama-sama dengan mereka yang dikaruniai kelengkapan fisik beraktivitas dengan cara yang sama.
Sarana dan Prasarana Transportasi. Nyata sekali mereka harus diberikan akses yang sama dengan yang lain.Namun memang fasilitas harus khusus. Jika pemerintah belum bisa menyediakan jalan khusus untuk Difable. Maka paling tidak harus dimulai dari sarana dan prasarana ‘jalan’ di kantor-kantor pemerintah. Sehingga mereka bisa mengakses tempat dimanapun di dalam kantor. Tangga berjalan harus yang memungkinkan untuk kursi roda bisa bergerak bebas, lebar ruas untuk jalan di dalam ruang-ruang kantor, biasanya jarak antar meja menyulitkan untuk kaum Difable bergerak.
Toilet untuk kaum Difable juga harus didesain khusus.
Sumber ; http://handaru.wordpress.com/2007/09/26/difable-dan-fasilitas-publik/